Selasa, 25 November 2008

STUDIO DESIGN MATA KULIAH YANG KALAH DENGAN MATA KULIAH LAINNYA

Suatu ketika ada sebuah diskusi ringan dengan teman tentang ”Mengapa Studio Desain sudah kalah dengan Mata kuliah lainnya”.
”Ada banyak cara untuk membuat mata kuliah studio desain menjadi mata kuliah yang di senangi”.
“Bukan di senangi tetapi menjadi yang utama”. Teman saya mejawab.
Saya hanya mendengarkan. Mulut saya tersenyum simpul. Saya tahu ke mana arah bicara ini.
”Bagaimana mau menjadi yang utama jika mata kuliah yang jumlah sksnya lebih kecil selalu memberikan tugas lebih banyak dan berat di bandingkan Studio desain”. Tegas teman saya.
Saya pun tersenyum. Mata saya menerawang ke luar. Berpikir panjang menghayati apa yang dilontarkan, yang disodorkan.

Mahasiswa Arsitek di kampus ini fenomenanya sudah berubah. Kurang peduli dengan kuliah Studio Desain tetapi lebih mengutamakan kuliah yang sksnya lebih kecil. Mengutip perkataan Bapak Sarwadi ”Kan seharusnya Mata kuliah Studio Desain ini yang menjadi Parameter mahasiswa arsitek di bidang arsitektural dan satu-satunya kuliah dimana mahasiswa dapat belajar mendesain”. Mendengar pernyataan itu saya pun geram. Bukan meremehkan pak, tetapi kalah dengan mata kuliah yang lainnya yang dimana menuntut tugas lebih banyak di bandingkan dengan studio desain tersebut, tanggap saya kepada diri saya sendiri. Apa cara penyajian mata kuliah Studio Desain yang kurang menarik. Kita dapat meliat contoh di itb(institute tekhnologi bandung), dimana mahasiswa studio memiliki ruangan sendiri-sendiri. Contoh studio desain 7 memiliki tempat sendiri (satu ruangan besar) disana terdapat apa yang mereka kerjakan. Ada dekstop yang di tinggal dan sepatu yang bergeletakan. Meraka sepulang kuliah biasa langsung ke studio untuk mengerjakan studio desain mereka. Cara itu memang efektif sekali di badingkan dengan 1 ruang studio untuk berganti-gantian. Pernah saya usulkan kepada seorang dosen untuk membuat suasana studio seperti itu. Tetapi jawabannya hanya ”Kami juga ingin seperti itu tapi jurusan perencanaan mengurangi jatah tempat untuk melakukan seperti itu”. Hanya karena keterbatasan kah sebuah proses yang baik itu tidak dapat terjadi. ”Mengenaskan”, kata yang patut di lontarkan untuk kondisi ini.

Selasa, 11 November 2008

Jogja Never Ending Asia

Kebudayaan yang menjadi modal pembangunan kota di Kota Jogjakarta adalah Heritage dan Edukasi. Irisan dan persilangan unik khas Jogjakarta ini melahirkan banyak peluang, terutama yang berkaitan dengan kekuatan ekonomi yang lahir dari tingginya kreativitas dan inovasi generasi mudanya. Ekonomi yang lahir dari kekuatan berpikir. Dari kekuatan ’human capital’ atau yang sering disebut dengan istilah’creative economy’. Kebudayaan dapat menjadi motor penggerak dan motivator dalam pelaksanaan pembangunan di daerah. Pembangunan kebudayaan tidak bisa lepas dari fenomena globalisasi. Era globalisasi menawarkan banyak kepraktisan, kemudahan, kebebasan yang memiliki daya tarik besar bagi generasi muda. Kebudayaan Jawa dianggap memiliki kaidah-kaidah yang justru menjauhkan diri dari pendukung-pendukungnya. Padahal Jogja memiliki kekayaan kebudayaan yang diakui oleh dunia internasional. Kebudayaan sebagai salah satu pilar daya saing daerah memerlukan strategi perencanaan kota yang berbasis kebudayaan.

Kami tiba laat, malam itu

Di sambut dengan Udara yang menyesakkan tubuh

Mobil dan Motor yang berlalu-lalang

Membuat kemacetan di sepanjang Malioboro

Lalu mampir ke Angkringan

Jiwa yang koyak moyak

Di sapa dengan keramahan dan Kopi Joss

Masih tetap hangat seperti biasanya

Uk, 111108

Jogja adalah paradoks. Kadang dirindu. Kadang dibenci. Jogja disukai karena masyarakatnya yang ramah dan suasana santainya, namun digerutui karena polusi kendaraan bermotor dan kemacetan di pusat keramaian . Didatangi karena kualitas universitasnya, namun ditinggalkan karena minim peluang berkarirnya. Dipuji karena banyak ahli kota dan arsiteknya, namun diejeki karena minimnya inovasi dan kesemrawutan kotanya.

Di Bumi Mataram ini banyak tersembunyi kegiatan-kegiatan ekonomi berbasis inovasi dan kreativitas tanpa banyak kita hapal. Di Jogja terdapat banyak designer, baik Desain Visual, Arsitek, Perancang Mode, dan Seniman. Di Jogja pula, peluang-peluang ekonomi kreatif berbasis kebudayaan atau edukasi tumbuh subur. Tidak heran, suasana kreatif dan alam yang unik di Bumi Mataram ini membuat industri musik pun berkembang. Di dunia arsitektur, progresivitas berpikir dan desain eksperimental arsitek-arsitek Jogja cukup di segani di kota-kota lainnya.

Di sisi lain, salah satu syarat menjadi kota kelas dunia adalah kualitas infrastruktur fisik kota dan ruang publiknya. Inilah kelemahan kota Jogja. Tidak ada kemajuan yang berarti dari segi pembanguan fisik dan sarana kota kecuali kawasan Malioboro dan Busway.

Sarana kota seperti Stadion Amongrogo yang sudah uzur, alun-alun kota yang tidak jelas konsepnya, Ambarukmo plasa yang merusak tatanan Fasad kota Jogja, Graha Sabha Pramana dengan konsep jogjlo yang tidak “jogjlonya“ adalah contoh-contoh buruknya.

Pemerintah kota dan propinsi seharusnya bisa melihat bagaimana investasi di fasilitas publik dengan arsitektur progresif bisa mengangkat ekonomi kota melompat ke level internasional. Seperti halnya kehadiran Museum Guggenheim di kota Bilbao Spanyol yang berdiri di bekas stasiun yang terbengkalai. Di sisi lain, pemerintah seringkali tidak mampu menahan pihak-pihak swasta yang tidak bertanggung jawab untuk berinvestasi namun merusak fisik kota Jogja atas nama investasi dan pertumbuhan ekonomi. Rencana pembangunan lahan parkir bawah tanah di Alun – alun, Gama Book Store yang tidak ada garis sempadan bangunannya, beberapa bangunan di kawasan malioboro yang merusak karakter arsitektur kawasan malioboro dan melanggar sempadan adalah contoh-contohnya.

Kekuatan Jogja terbesar ada pada aset kualitas manusianya. Inilah kekuatan Jogja di masa depan. Inilah tiket bersaing global. Jangan sampai ribuan orang-orang kreatif dan pintar ini selalu pergi ke Jakarta atau Singapura setelah mereka lulus sekolah di Jogja, Mereka harus diakomodasi untuk berbisnis dan berkarir di Jogja. Mereka harus distimulasi untuk mencintai kota Jogja.

Karenanya pemerintah harus berinvestasi dengan 2 cara. Pertama, investasi dalam bentuk dukungan instrumen kebijakan ekonomi yang kondusif dan jangka panjang. Instrumen ini untuk mendorong investasi ekonomi kreatif mengalir dan eksis di Jogja. Sehingga orang-orang kreatif dan pintar dari luar kota pun mau dan tertarik untuk pindah ke Jogja dengan membawa kapital, ide-ide kreatif atau inovasi-inovasi bisnisnya.

Kedua, pemerintah harus berinvestasi memperbaiki infrastruktur dan sarana kota. Memperbaiki lalu lintas, memperbaiki bangunan-banngunan heritage, memperbanyak gedung-gedung pertunjukan atau galeri, memelihara dan mempercantik bangunan-banguan bersejarah, berinovasi dalam ruang hijau kota atau menyuntikkan seni dalam penataan kawasan kota. Ingat, kreativitas dan inovasi mudah lahir dari wadah yang inspiratif.

Persaingan dunia bukan lagi antar negara, tapi antar kota. Karena itulah strategi-strategi perencanaan kota yang inovatif sudah dilakukan oleh kota London, Glasgow, Taipei, Singapura, Bangalore, Buenos Aires dalam merespon ekonomi baru ini. Kebijakan ekonomi kreatif yang responsif dan peningkatan kualitas sarana kota, bersatu kompak bagai dua sisi dalam satu koin uang. Pemerintah kota Jogja sudah saatnya berpikir inovatif diluar norma-norma standar pengelolaan kota-kota Indonesia. Kita harus berpikir dan berinovasi seperti kota-kota dunia.

Jogja Never Ending Asia” bukanlah hanya mimpi. Kita sudah punya modal awal yaitu aliran sumber daya manusia yang kreatif dan kompetitif berkelas dunia. Modal ini harus disempurnakan dengan kualitas sarana kota yang berkelas dunia pula. Inilah reposisi dan wajah baru Jogja di era milenium. Wajah baru yang menyempurnakan era Jogja sebagai wajah kemerdekaan bangsa indonesia dengan menjadi ibu kota sementara. Jangan biarkan mimpi ini mati sebagai mimpi.

Nilai-nilai kearifan lokal bukanlah nilai usang yang harus dimatikan, tetapi dapat bersinergi dengan nilai-nilai universal dan nilai-nilai modern yang dibawa globalisasi. Dunia internasional sangat menuntut demokrasi, hak asasi manusia, lingkungan hidup menjadi agenda pembangunan di setiap negara. Isu-isu tersebut dapat bersinergi dengan aktualisasi dari filosofi “Hamemayu Hayuning Bawana”, masyarakat Yogyakarta harus bersikap dan perilaku yang selalu mengutamakan harmoni, keselarasan, keserasian dan keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam, manusia dengan manusia dan manusia dengan Allah SWT dalam melaksanakan hidup dan kehidupan agar negara menjadi panjang, punjung, gemah ripah loh jinawi, karta tur raharja.